Wednesday, June 12, 2013

A New Refutation Of Time

Sebelum aku tak ada apapun, setelah aku tak akan ada apapun,
Bersamaku waktu lahir, bersamaku waktu akan mati.
Daniel von Czepko;
Sexcenta monodisticha sapientum, III, II (1655)


A

1.
Dalam perjalanan sebuah kehidupan yang didedikasikan untuk tulisan dan (pada waktunya) untuk teka-teki teoritis, aku telah melihat atau memperkirakan sebuah penyangkalan untuk waktu, yang mana aku sendiri tak mempercayainya, tetapi seringkali mengganggu pikiranku di malam hari dan di waktu senja dengan membawa kekuatan yang ilusif tentang sebuah aksioma. Bagaimanapun penyangkalan ini sudah muncul dalam semua bukuku: penyangkalan ini sebelumnya telah digambarkan oleh puisi "Inscription on Any Grave" dan "The Trick" dari bukuku Fervor of Buenos Aires (1923); juga dinyatakan dalam dua artikel di Inquisition (1925), halaman 46 dari Evaristo Carriego (1930), narasi "Feeling in Death" dari History of Eternity (1936) dan pada catatan halaman 24 dari The Garden of Forking Paths (1941). Tak satupun dari teks-teks tersebut yang memuaskanku, bahkan tidak juga dari teks yang disebut sebelum terakhir, kurang leluasa dan pertimbangan jika dibandingkan yang seharusnya, dan juga menyedihkan. Aku akan mencoba membangun dasar dari semua itu dalam esai ini.

Dua argumen yang membawaku ke penyangkalan ini: idealisme Berkeley dan prinsip Leibniz tentang hal-hal yang tak bisa dijelaskan.

Berkeley (Principle of Human Knowledge, 3) mengamati: "Bahwa tak ada dari pikiran, keinginan, dan ide kita yang dibentuk oleh imajinasi, ada tanpa pikiran, itulah yang akan disepakati semua orang. Dan tampaknya tak sedikit bukti bahwa berbagai macam sensasi atau ide-ide yang dicetak dalam rasa, bagaimanapun juga melebur atau dikombinasikan bersama (tak peduli apapun objek yang digubah) tidak bisa hadir tanpa sebuah pikiran yang mempersepsikannya... Meja dimana aku menulis, aku bilang, ada, ya, aku melihat dan merasakannya; dan jika aku tidak sedang belajar aku seharusnya mengatakan bahwa meja itu ada, berarti jika di situ aku sedang belajar maka aku mempersepsikannya, atau mungkin makhluk lain yang mempersepsikannya... Karena apa yang dikatakan sebagai keberadaan mutlak dari hal yang tak terpikirkan tanpa adanya hubungan dengan keberadaannya yang dipersepsikan, hal tersebut tidak masuk akal. Tanpa keberadaanya yang terpersepsikan, tidak mungkin hal-hal tersebut memiliki keberadaan, di luar pikiran atau pemikiran yang mempersepsikannya." Di paragraf dua puluh tiga dia menambahkan, untuk mencegah sanggahan: "Kamu mungkin akan mengatakan, tentu saja tak ada yang lebih mudah daripada membayangkan pohon-pohon, misalnya, dalam sebuah taman atau buku-buku dalam sebuah lemari, dan tak ada orang di situ yang mempersepsikannya. Aku akan menjawab, mungkin begitu, tak ada kesulitan untuk berpikir seperti itu, tetapi penjelasannya begini, semoga kamu memahaminya, lebih dari menyusun kerangka ide-ide yang kamu sebut buku-buku dan pohon-pohon dalam pikiranmu, pada saat yang sama kamu menghilangkan kerangka ide dimana kamu bisa mempersepsikannya? Bukankah kamu sendiri mempersepsikan atau memikirkan semuanya sekaligus? Hal ini tentunya tidak disengaja; tetapi justru menunjukkan kepadamu bahwa kamu memiliki kekuatan untuk menggambarkan atau membentuk ide-ide dalam pikiranmu; tetapi hal ini tidak membuatmu beranggapan bahwa hal itu mungkin saja terjadi, objek yang kamu pikirkan mungkin bisa ada tanpa pikiran..." Di paragraf lain, nomor enam, dia sudah menyatakan: "Beberapa kebenaran begitu dekat dan jelas dengan pikiran, dan orang hanya perlu membuka mata untuk melihatnya. Hal ini penting untuk dipikirkan, bahwa semua nada surgawi dan benda-benda di dunia, bisa dikatakan bahwa semua hal yang membentuk dunia, tidak memiliki keberadaan tanpa pikiran, keberadannya dipersepsikan atau diketahui; selama hal-hal tersebut tidak terpersepsikan olehku, atau tidak ada dalam pikiran siapapun atau pikiran makhluk apapun, hal-hal itu sama sekali tidak pernah ada, atau ada dalam pikiran ruh yang kekal..."

Hal di atas, seperti yang dikatakan penulisnya, adalah doktrin idealis. Memahaminya mudah; yang sulit adalah berpikir sampai pada batasnya. Schopenhauer sendiri, ketika menguraikannya, melakukan berbagai kesalahan yang sembrono. Di baris pertama dalam volume pertama dari Welt as Willie und Vorstellung -- dari tahun 1819 -- dia merumuskan pernyataan yang layak mendapatkan pertanyaan dari semua orang: "Dunia adalah gagasanku: sebuah kebenaran yang mengandung kebaikan bagi semua yang hidup dan tahu, walaupun seseorang bisa membawanya ke dalam perenungan dan kesadaran yang abstrak. Jika dia benar-benar melakukan itu, maka dia suadah mencapai kebijaksanaan filosofis. Menjadi jelas dan pasti bahwa apa yang dia ketahui bukanlah matahari atau bumi, melainkan hanya mata yang melihat matahari dan tangan yang menyentuh bumi..." Dengan kata lain, menurut idealisme Schopenhauer, mata dan tangan manusia lebih nyata atau jelas dibandingkan matahari dan bumi. Pada  1844 dia mempublikasikan sebuah volume pelengkap. Pada bab pertama dia kembali melakukan dan memperburuk kesalahan sebelumnya: dia mendefinisikan jagat raya sebagai sebuah fenomena otak dan membedakan "dunia dalam kepala" dan "dunia di luar kepala." Bagaimanapun juga Berkeley pernah menyatakan Philonous pada 1713: "Otak yang kamu bicarakan, sebuah benda yang bisa dirasakan, ada hanya dalam pikiran. Sekarang, aku akan senang untuk mengetahui apakah kamu menganggap masuk akal untuk beranggapan, bahwa sebuah gagasan atau benda yang ada dalam pikiran, menimbulkan semua gagasan yang lain? Dan jika kamu beranggapan demikian, bagaimana kamu menjelaskan asal dari gagasan utama atau otak itu sendiri?" Dualisme atau cerebralism Schopenhauer ini bisa jadi secara meyakinkan bertentangan dengan monisme Spiller. Spiller (The Mind of Man, bab VIII, 1902) berargumen bahwa retina atau permukaan kulit ada untuk menjelaskan visual atau sentuhan terhadap fenomena, sebagai timbal baliknya, sentuhan dan sistem visual dari ruang yang kita lihat (objek) tak lebih dari apa yang kita bayangkan (cerebral) dan tidak memuatnya, karena apa yang kita punya di sini adalah dua sistem visual yang tak berkaitan. Berkeley (Principle of Human Knowledge, 10 dan 116) juga seperti itu menyangkal keberadaan indera utama -- kepadatan dan perluasan benda -- dan keberadaan ruang yang absolut.

Berkeley membenarkan keberadaan objek yang terus menerus, karena ada tak seorang pun yang melihatnya, Tuhan melihat; Hume, dengan logika yang lebih luas, menyangkal keberadaan seperti itu (Treatise of Human Nature, 1, 4, 2). Berkeley membenarakan keberadaan identitas personal, "Aku sendiri bukanlah gagasanku, tetapi gagasan orang lain, sebuah dasar pemikiran aktif yang mempersepsikan..." (Dialogues, 3); Hume, yang skeptis, menyangkal identitas ini dan menyangkal identitas setiap orang, "sebuah tumpukan atau kumpulan dari berbagai persepsi yang berbeda, yang saling menggantikan dengan kecepatan yang tak bisa dibayangkan" (op. cit., 1, 4, 6). Keduanya membenarkan keberadaan waktu: bagi Berkeley, waktu adalah "pergantian gagasan-gagasan dalam pikiranku, yang mengalir secara serempak, dan diikuti oleh semua hal yang ada" (Principle of Human Knowledge, 98); bagi Hume, "sebuah pergantian dari momen-momen yang tak bisa dibagi" (op. cit., 1, 2, 2).

Aku telah menghimpun tulisan-tulisan dari kerasnya pendirian idealisme. Aku telah mengumpulkan kalimat-kalimat kanonis mereka. Aku telah mengulang-ulang dan menegaskan. Aku telah mencela Schopenhauer (bukan tanpa rasa terima kasih), sehingga pembacaku bisa mulai menembus dunia pikiran yang tak stabil. Sebuah dunia keraiban kesan; sebuah dunia tanpa zat ataupun jiwa; tak ada objek maupun subjek; sebuah dunia tanpa gagasan ruang arsitetktur; sebuah dunia dari waktu, waktu yang seragam dan mutlak dari Principia; sebuah labirin tak berujung, sebuah kekacauan, sebuah mimpi. Peleburan sempurna yang pernah dicapai David Hume.

Setelah argumen idealis itu diterima, aku melihat kemungkinan -- mungkin tak terhindarkan lagi -- untuk masuk lebih dalam. Bagi Hume, tidak tepat berbicara tentang bentuk bulan atau warnanya, bentuk dan warna itulah bulan; seseorang juga tak tepat membicarakan persepsi dari pikiran, karena pikiran tak lebih dari sebuah rangkaian berbagai persepsi. Karena itu, Cartesian "Aku berpikir, maka aku ada" menjadi tidak valid; mengatakan "aku berpikir" berarti mendalilkan diri, di sinilah pertanyaan diajukan; Lichtenberg, pada abad delapan belas, mengajukan  tempat "aku berpikir" kita seharusnya mengatakan secara tidak personal "berpikir (it thinks)," sama seperti seperti mengatakan "petir (it thunders)" atau "hujan (it rains)." Aku ulangi: di balik wajah-wajah kita tak ada rahasia diri yang mengatur tindakan dan menerima kesan. Kita semata-mata merupakan rangkaian dari tindakan imajiner dan kesan yang silih berganti.  Rangkaian? Setelah zat dan jiwa, yang ada secara terus-menerus, ditiadakan, dan setelah ruang juga ditiadakan, aku tak tahu dasar apa yang kita miliki untuk keterus-menerusan itu yang mana adalah waktu. Mari kita bayangkan sebuah momen sekarang, macam apapun. Selama semalam dari hidupnya di Mississippi, Huckleberry Finn terbangun; rakitnya, sebagian hilang dalam kegelapan, aliran sungai yang menerus; mungkin sedikit dingin. Huckleberry Finn mengenali suara lembut air yang tak kenal lelah; dia membuka mata begitu saja; dia melihat banyak sekali bintang, garis sliuet yang kabur dari pohon-pohon; kemudian, dia menenggelamkan diri kembali dalam tidur yang tak terkenang seperti dalam air yang gelap.* Teori idealis menyatakan bahwa menambahkan perihal material (objek) dan perihal spiritual (subjek)  ke dalam persepsi itu merupakan tindakan yang sembrono dan tak berguna; aku bertahan pada pendapat bahwa tidak logis berpikir bahwa persepsi seperti itu adalah bagian dari sebuah rangkaian yang permulaannya sama tak terbayangkannya dengan akhirnya. Dengan menambahkan sungai dan tepi, Huck melihat gagasan dari perihal sungai yang lain dan perihal tepi yang lain. Dengan menambahkan persepsi yang lain dari jaringan persepsi yang sudah ada, bagi idealisme tidak bisa dibenarkan, bagiku sama tak bisa dibenarkannya dengan menambahkan presisi  yang kronologis; faktanya, misalnya kejadian yang sedang berlangsung terjadi pada malam tujuh Juni, 1849, antara sepuluh sampai sebelas menit sebelum pukul empat. Dengan kata lain, aku menyangkal keberadaan satu waktu, dimana semua hal terhubung dalam sebuah rantai. Penyangkalan terhadap keberadaan bersama tak lebih sulit dibandingkan penyangkalan terhadap rangkaian.

*Untuk kemudahan pembaca aku memilih sebuah momen di antara dua tidur, sebuah momen literal, bukan historis. Jika ada yang menduga kekeliruan, dia bisa menggantinya dengan contoh lain, contoh dari hidupnya sendiri jika dia memilih demikian.

Aku menyangkal penjumlahan dari kejadian-kejadian, yang berurutan; aku menyangkal penjumlahan dari kejadian-kejadian, yang bersamaan. Seorang kekasih yang berpikir "Ketika aku sedang begitu berbahagia memikirkan kesetiaan cintaku, dia menipuku" menipu dirinya sendiri. Jika setiap kejadian yang kita alami absolut, kebahagiaan tersebut tidak terjadi pada sang pengkhianat; mengetahui bahwa itu adalah pengkhianatan adalah kejadian lain, yang tak bisa mengubah kejadian "sebelumnya," walaupun hal itu bisa mengubah cara mengingatnya. Kemalangan hari ini tidak lebih nyata dari kebahagiaan di masa lampau. Aku akan mencari contoh konkrit yang lain. Pada awal Agustus 1824, Kapten Isodore Suarez, kepala skuadron berkuda Peruvian, memperoleh kemenangan Junin; pada awal Agustus 1824, De Quincey mengumumkan kecaman untuk Wilhelm Meisters Lehrjahre; kedua kejadian ini tidak bersamaan (sekarang bersamaan), karena kedua orang itu sudah mati -- yang pertama di kota Montevideo, yang lain di Edinburh -- tanpa tahu apapun satu sama lain... Setiap momen berdiri sendiri. Dendam, ampunan, hukuman bahkan pelupaan tak bisa mengubah masa lalu yang tak tertaklukan. Bagiku, harapan dan rasa takut sama sia-sianya, karena hal-hal itu selalu merujuk pada kejadian di masa mendatang; ya, pada kejadian yang tak akan terjadi pada kita, yang berada tepat pada waktu sekarang. Aku pernah diberitahu bahwa sekarang, sekarang yang indah namun menipu bagi psikologis, berakhir dari beberapa detik ke pecahan satu menit dari satu detik; itu bisa jadi jangka waktu sejarah jagat raya. Dengan kata lain, tak ada sejarah seperti itu, sama seperti manusia tak punya kehidupan; bahkan satu malam pun tak pernah terjadi; setiap momen kita hidup itu ada, tetapi bukan kombinasi imajiner dari momen-momen tersebut. Jagat raya, jumlah dari seluruh yang ada, adalah sebuah gagasan kumpulan yang tak lebih dari semua kuda yang diimpikan Shakespeare -- satu, banyak, tak satupun? -- antara 1592 sampai 1594. Aku tambahkan: jika waktu adalah proses di dalam pikiran, bagaimana mungkin ribuan manusia -- atau bahkan dua orang yang berbeda -- berpikiran yang sama?

Argumen pada paragraf sebelumnya, tersela dan terbebani oleh ilustrasi-ilustrasi, yang tampak berbelit-belit. Aku akan mencari metode yang lebih sederhana. Mari membayangkan sebuah kehidupan yang alirannya sering berulang: hidupku, misalnya. Aku tak pernah lewat di depan Recoleta tanpa mengingat ayahku, kakek-nenek dan buyut-buyutku dikubur di sana, sama sepertiku suatu saat nanti; kemudian aku ingat bahwa aku mengingat hal yang sama sebelumnya berkali-kali sebanyak yang tak bisa kuingat; aku tak bisa melalui pinggiran kota ketika malam yang sunyi tanpa memikirkan bahwa malam menyenangkan kita karena mendiamkan detail-detail yang lengang, sama seperti yang dilakukan memori kita. Aku tak bisa meratapi kehilangan sebuah percintaan atau persahabatan tanpa merenungi bahwa seseorang hanya kehilangan apa yang tak pernah benar-benar ia milki; setiap kali aku melintasi ujung jalan bagian Selatan kota, aku mengingatmu, Helen; setiap kali angin membawa bau kayu putih kepadaku, aku teringat Androgue dari masa kecilku; setiap kali aku mengingat bagian ke sembilan puluh satu dari Heraclitus "Kamu tak akan melintasi seungai yang sama dua kali," aku mengagumi dialeknya yang terampil, karena dengan mudah kita bisa memahami makna pertama ("sungainya berbeda") dan makna kedua yang disembunyikan dari kita ("aku berbeda") dan menganugerahi kita dengan ilusi bahwa kitalah yang menciptakan baris itu; setiap kali aku mendengar orang Jerman mengumpat dengan bahasa Yiddish, aku membayangkan bahwa Yiddish bagaimanapun, sebenarnya dialek Jerman, yang baru saja diwarnai dengan bahasa Arwah Suci. Pengulangan-pengulangan ini (dan yang lainnya yang kubiarkan tak tersampaikan) menyusun keseluruhan hidupku. Tentu saja pengulangan itu tidak berulang sama persis; ada perbedaan pada perhatian, suhu, cahaya dan fenomena fisik yang umum lainnya. Bagiamanpun, aku menduga bahwa variasi-variasi dari detail itu bukannya tak terhingga; kita bisa mengajukan, di dalam pikiran seseorang (atau dua orang yang tak kenal satu sama lain tetapi proses yang sama terjadi), dua momen yang identik. Setelah persamaan itu diajukan, seseorang mungkin bertanya: Bukankah momen yang identik itu sama? Bukankah satu saja hal yang berulang cukup untuk merusak dan mengacaukan rangkaian waktu? Bukankah pembaca yang bersungguh-sungguh tenggelam dalam Shakespeare secara literal menjadi Shakespeare?

Sampai sekarang aku masih tak tahu banyak tentang etika dari sistem yang telah kugariskan. Aku bahkan tak tahu kalau etika itu ada. Paragraf kelima dari bab keempat pada risalah Sanhedrin dari Mishnah menyatakan bahwa, demi keadilan Tuhan, barangsiapa yang membunuh satu orang maka dia menghancurkan dunia; jika tidak ada kejamakan, dia yang membunuh seluruh manusia tak lebih bersalah dari dosa primitif Qabil, yang faktanya ortodoks, atau penghancuran tersebut universal, yang faktanya mungkin magis. Aku paham seperti itu. Malapetaka yang lebih umum -- kebakaran, perang, wabah -- adalah penderitaan yang tunggal, yang secara ilusif dilipat gandakan oleh banyak cermin. Karena itu Bernard Shaw melihatnya demikian (Guide To Socialism, 86): "Apa yang bisa kamu derita adalah penderitaan terhebat yang bisa diderita di dunia. Jika kamu mati kelaparan, kamu akan menderita seluruh kelaparan yang pernah terjadi dan akan terjadi. Jika sepuluh ribu orang mati bersamamu, keikut sertaan mereka tidak akan membuatmu sepuluh ribu kali lebih lapar maupun melipat gandakan waktu sekaratmu sepuluh ribu kali lebih lama. Jangan biarkan dirimu termakan oleh jumlah yang mengerikan dari penderitaan, jumlah seperti itu tak pernah ada. Kemiskinan maupun penderitaan tidaklah kumulatif." Cf. juga Problem of Pain, VII, oleh C. S. Lewis.

Lucretius (De rerum natura, I, 830) merujuk pada doktrin Anaxogoras bahwa emas terdiri dari partikel emas, api dari percikan, tulang dari tulang-tulang kecil yang tak kasat mata; Josiah Royce, mungkin terpengaruh oleh St. Augustine, menyatakan bahwa waktu terbuat dari waktu dan sehingga "setiap sekarang yang di dalamnya sesuatu terjadi maka itu juga adalah sebuah urutan" (The World and the Individual, II, 139). Dalil ini sesuai dengan apa yang ada dalam esai ini.

2.
Semua bahasa sifatnya berurutan; sifat tersebut tidak terkait dengan penyebab dari keabadian, ketidak sementaraan. Mereka yang telah mengikuti argumentasi sebelumnya dan merasa kurang senang mungkin memilih halaman dari tahun 1928 ini. Aku sudah menyebutkan sebelumnya; narasi yang berjudul "Feeling in Death".

"Aku ingin menulis di sini sebuah pengalaman yang aku alami beberapa malam yang lalu: sedikit terlalu singkat dan menyenangkan untuk disebut petualangan, terlalu tak logis dan sentimentil untuk disebut pemikiran. Pengalaman ini terdiri dari sebuah adegan dan kata-katanya: satu kata sudah kunyatakan, tetapi tidak cukup hidup sampai setelah ini. Aku akan meneruskan dengan sejarah ini, dengan kecelakan waktu dan tempat adalah pernyataan yang disampaikan.

"Aku ingat seperti ini. Siang sebelum malam itu, aku berada di Barracas: tempat yang tak biasa kukunjungi dan cukup jauh dari tempat yang kulintasi setelahnya yang memberiku perasaan janggal pada hari itu. Sore harinya tak memiliki takdir sama sekali; karena tak ada apapun, aku keluar untuk berjalan-jalan dan mengingat-ingat setelah makan malam. Aku tak ingin menentukan rute untuk perjalananku itu; aku mencoba untuk menempuh jarak sejauh mungkin supaya tidak melelahkan ekspektasiku dengan pandangan yang penting atau sejenisnya. Sampai pada tingkat tak sempurna dari yang memungkinkan, aku mencoba melakukan apa yang disebut berjalan secara acak; tanpa prasangka selain menghindari gang atau jalan yang lebih lebar, aku menerima undangan setiap peluang. Akan tetapi, gravitasi yang tak asing membawaku lebih jauh, ke arah lingkungan-lingkungan tertentu, yang namanya sepenuhnya kuingat dan mendiktekan hatiku. Yang kumaksud di sini bukan lingkunganku sendiri, lingkungan masa kecilku, melainkan lingkungan yang misterius: sebuah area yang sering kudatangi dengan kata-kata tetapi jarang dalam realitas; segera dan pada saat yang bersamaan seperti dongeng. Kebalikan dari yang tak asing itu, jauh kebalikannya, yaitu jalan-jalan di lingkungan masa kecilku, sama tak kukenal seperti pondasi rumah yang tersembunyi atau tulang-belulang yang tak terlihat di dalam tubuh. Perjalanan membawaku ke sebuah sudut. Aku bernapas malam itu, dalam sebuah jeda pikiran yang sangat tenteram. Pemandangan itu, sama sekali tidak rumit, sepertinya tersederhanakan oleh kelelahanku. Pemandangan itu tampak tak nyata karena kekhasannya. Jalan itu berupa barisan rumah-rumah rendah yang berarti kemiskinan, kemudian tentunya ada rumah yang makmur. Pemandangan yang sesederhana dan semempesona mungkin.Tak ada dari rumah-rumah itu yang berani membuka menghadap jalan; sebuah pohon kurma yang gelap di ujung; bukaan pintu dengan lengkungan pada bagian atas -- lebih tinggi dari garis dinding yang rapi -- seperti terbuat dari bahan tak terbatas yang membentuk malam. Trotoar membentuk tepian yang curam dari jalan. Jalan bermaterial tanah, seperti tanah dari Amerika sebelum diduduki orang-orang Barat. Lebih jauh lagi, lorong, yang menuju Pampa, menembus Maldonado. Di atas tanah yang keruh dan kacau, sebuah dinding berwarna merah mawar tidak menaungi sinar bulan, melainkan menghamburkan sinarnya sendiri yang intim. Tak ada sebutan yang lebih baik untuk suasana itu selain warna mawar yang lembut.

"Aku melanjutkan memandangi kesederhanaan ini. Aku berpikir, tentunya dengan lantang: Pemandangan ini sama seperti tiga puluh tahun yang lalu... Aku menduga-duga tanggalnya: baru-baru ini di negara-negara lain tetapi sekarang cukup jauh di bagian yang terus berubah di dunia ini. Mungkin seekor burung sedang menyanyi dan kepadanya aku merasakan kasih sayang yang kecil, sekecil burung itu; yang jelas di sini sekarang hanya ada keheningan yang memusingkan dan tak ada suara lain selain suara jangkrik yang kekal. Pemikiran sederhana 'aku sedang berada di abad sembilan belas' menghilang menjadi beberapa kata dan semakin masuk ke dalam realitas. Aku merasa mati, aku merasa sebagai penonton yang abstrak dari dunia. Sebuah ketakutan tak terbatas yang dikaruniai pengetahuan, yang mana merupakan kejernihan terbaik dari metafisik. Aku tidak berpikir bahwa aku melawan arus sungai waktu; tetapi aku menduga bahwa akulah pemilik dari diam atau hilangnya kata keabadian yang tak terbayangkan. Hanya di kemudian hari aku mampu menjelaskan imajinasi itu.

"Sekarang aku menuliskannya seperti ini: representasi dari objek-objek yang homogen itu -- malam yang tenang, dinding kecil yang terang, harum pohon-pohon pedesaan, bumi yang murni -- tidak semata-mata identik dengan keadaan yang tampak pada sudut itu bertahun-tahun yang lalu; hal ini, tanpa kemiripan atau pengulangan, sama sekali sama. Waktu, jika secara intuitif kita bisa menggenggam identitas itu, hanyalah khayalan: perbedaan dan ketidak terpisahan dari momen masa lalu dengan momen sekarang cukup untuk memisahkannya.

"Hal itu adalah bukti bahwa jumlah dari momen-momen manusia itu bukannya tak terbatas. Hal-hal yang mendasar -- seperti penderitaan dan kenikmatan fisik, tidur, pendengaran atas potongan musik, intensitas atau kemalasan yang luar biasa -- bahkan lebih impersonal. Sebelumnya aku sudah menurunkan kesimpulan ini: hidup itu terlalu malang juga untuk tidak menjadi abadi. Tetapi bahkan kita tidak memiliki kepastian untuk kemiskinan kita, karena waktu, yang mudah saja disangkal dalam hal pengalaman, tidak terlalu intelktuil, dari yang esensi konsep rangkaiannya tampak tidak terpisahkan. Hal itu akan tetap menjadi anekdot yang emosional dari gagasan yang tampak sekilas seperti pernyataan yang penuh keraguan pada tulisan ini tentang momen kenikmatan yang sebenarnya dan kesan yang memungkinkan tentang keabadian yang dengannya malam itu tidak terlalu pelit terhadapku."


B

Di antara banyak doktrin yang tercatat dalam sejarah filsafat, mungkin idealisme adalah yang paling tua dan paling tersebar luas. Pengamatan ini dilakukan oleh Carlyle (Novalis, 1829); terhadap para filsuf yang dia anggap sesuai untuk dimasukkan, tanpa berharap mencacah jumlah keseluruhan yang tak terhingga, mulai dari Platonis, yang bagi mereka realitas adalah pola yang mendasar (Norris, Judas, Abrabanel, Gemistus, Plotinus), teolog, yang bagi mereka yang tidak berketuhanan itu tidak pasti (Malebranche, Johannes Eckhart), monis, yang menganngap jagad raya adalah atribut yang tidak aktif dari Yang Absolut (Bradley, Hegel, Parmenides)... Idealisme itu setua kegelisahan pemikiran itu sendiri; idealisme adalah keyakinan yang paling akut, George Berkeley, yang tersohor di abad delapan belas; kebalikan dari yang dinyatakan Schopenhauer (Welt als Wille und Vorstellung, II, i), jasanya bukan merupakan bentuk doktrin melainkan argumen yang dia persepsikan untuk membenarkannya; Hume menerapkannya dalam pikiran; tujuanku adalah menerapkannya dalam waktu. Tetapi sebelumnya aku akan mengikhtisarkan berbagai tingkatan dialektiknya.

Berkeley menyangkal keberadaan materi. Hal ini bukan berarti, yang harus dicatat setiap orang, bahwa dia menyangkal keberadaan warna, bau, rasa, suara dan rasa setuhan; yang dia sangkal adalah, di samping persepsi-persepsi tadi, apa yang membuat dunia luar, bahwa ada yang tak terlihat, tak nyata, yang disebut materi. Dia menyangkal bahwa ada rasa sakit yang tak dirasakan siapapun, warna yang tak dilihat siapapun, bentuk yang tak disentuh siapapun. Dia berpikir bahwa memasukkan materi ke dalam persepsi kita berarti memasukkan hal yang tak terbayangkan, seperti memasukkan dunia yang sia-sia ke dalam dunia. Dia percaya bahwa dunia yang terangkai oleh indera kita, tetapi memahami bahwa dunia material (seperti yang dikatakan Toland)  adalah duplikasi yang menipu. Dia mengamati (Principles of Human Knowledge, 3): "Bahwa tak ada pikiran, keinginan, dan ide kita yang dibentuk oleh imajinasi, ada tanpa pikiran, itulah yang akan disepakati semua orang. Dan tampaknya tak sedikit bukti bahwa berbagai macam sensasi atau ide-ide yang dicetak dalam rasa, bagaimanapun juga melebur atau dikombinasikan bersama (tak peduli apapun objek yang digubah) tidak bisa hadir tanpa sebuah pikiran yang mempersepsikannya... Meja dimana aku menulis, aku bilang, ada, ya, aku melihat dan merasakannya; dan jika aku tidak sedang belajar aku seharusnya mengatakan bahwa meja itu ada, berarti jika di situ aku sedang belajar maka aku mempersepsikannya, atau mungkin makhluk lain yang mempersepsikannya... Karena apa yang dikatakan sebagai keberadaan mutlak dari hal yang tak terpikirkan tanpa adanya hubungan dengan keberadaannya yang dipersepsikan, hal tersebut tidak masuk akal. Tanpa keberadaanya yang terpersepsikan, tidak mungkin hal-hal tersebut memiliki keberadaan, di luar pikiran atau pemikiran yang mempersepsikannya." Di paragraf dua puluh tiga dia menambahkan, untuk mencegah sanggahan: "Kamu mungkin akan mengatakan, tentu saja tak ada yang lebih mudah daripada membayangkan pohon-pohon, misalnya, dalam sebuah taman atau buku-buku dalam sebuah lemari, dan tak ada orang di situ yang mempersepsikannya. Aku akan menjawab, mungkin begitu, tak ada kesulitan untuk berpikir seperti itu, tetapi penjelasannya begini, aku harap kamu memahaminya, lebih dari menyusun kerangka ide-ide yang kamu sebut buku-buku dan pohon-pohon dalam pikiranmu, pada saat yang sama kamu menghilangkan kerangka ide dimana kamu bisa mempersepsikannya? Bukankah kamu sendiri mempersepsikan atau memikirkan semuanya sekaligus? Hal ini tentunya tidak disengaja; tetapi justru menunjukkan kepadamu bahwa kamu memiliki kekuatan untuk menggambarkan atau membentuk ide-ide dalam pikiranmu; tetapi hal ini tidak membuatmu beranggapan bahwa hal itu mungkin saja terjadi, objek yang kamu pikirkan mungkin bisa ada tanpa pikiran..." Di paragraf lain, nomor enam, dia sudah menyatakan: "Beberapa kebenaran begitu dekat dan jelas dengan pikiran, dan orang hanya perlu membuka mata untuk melihatnya. Hal ini penting untuk dipikirkan, bahwa semua nada surgawi dan benda-benda di dunia, bisa dikatakan bahwa semua hal yang membentuk dunia, tidak memiliki keberadaan tanpa pikiran, keberadannya dipersepsikan atau diketahui; selama hal-hal tersebut tidak terpersepsikan olehku, atau tidak ada dalam pikiran siapapun atau pikiran makhluk apapun, hal-hal itu sama sekali tidak pernah ada, atau ada dalam pikiran ruh yang kekal..." (Tuhan menurut Berkeley adalah saksi yang berada dimana-mana yang meminjamkan pertalian dari semua hal di dunia.)

Doktrin yang dijabarkan di atas telah diinterpretasikan secara dengan berbagai cara yang berlawanan. Herbert Spencer berpikir bahwa dia telah menyangkalnya (Principles of Psychology, VIII, 6), berpendapat bahwa jika tidak ada apapun di luar kesadaran kita, kesadaran pastilah tak terhingga dalam ruang dan waktu. Yang pertama tentunya kita paham bahwa semua waktu ditangkap oleh persepsi seseorang, tetapi keliru jika berpendapat waktu itu mestinya merupakan jumlah yang tak terhingga dari abad-abad; yang kedua agak janggal, karena Berkeley (Principles of Human Knowledge, 116, Siris, 226) secara berulang-ulang menyangkal keberadaan ruang yang tak terbatas. Bahkan yang lebih tak masuk akal adalah kesalahan dimana Schopenhauer jatuh (Welt als Willie und Vorstellung, II, i) ketika dia menunjukkan bahwa bagi idealis dunia adalah fenomena dalam otak. Bagaimanapun Berkeley telah menulis (Dialogues between Hylas and Philonous, II): "Otak yang kamu bicarakan, adalah benda yang bisa dirasakan, ada hanya dalam pikiran. Sekarang, aku akan senang untuk mengetahui apakah kamu pikir menganggap, bahwa sebuah gagasan atau benda yang ada dalam pikiran, menimbulkan semua gagasan lain?" Otak, kenyataannya, tak lebih dari bagian dari dunia luar seperti rasi bintang Centaurus.

Berkeley menyangkal adanya sebuah objek dibalik dibalik indera kita; David Hume, menyatakan bahwa ada subjek dibalik persepsi yang berubah-ubah. Yang pertama telah menyangkal keberadaan materi, yang kedua menyangkal keberadaan jiwa; yang pertama tak menginginkan kita untuk memasukkan rangkaian kesan ke dalam gagasan materi, yang kedua tak menginginkan kita untuk memasukkan rangkaian pernyataan pikiran ke dalam gagasan diri. Logikanya perpanjangan dari argumen Berkeley yang Berkeley sendiri sudah memperkirakan sebelumnya, seperti catatan Alexander Fraser, bahkan mencoba untuk menyangkalnya dengan maskud Cartesian ergo sum. "Jika dasarmu valid, kamu sendiri tak lebih dari sebuah sistem gagasan yang fluktuatif, tidak ditopang oleh zat apapun, karena absurd untuk membicarakan substansi spiritual seolah-olah itu merupakan substansi material," pendapat Hylas, mengantisipasi David Hume dalam Dialogues yang ketiga dan yang terakhir. Hume membenarkan (Treatise of Human Nature, 1, 4, 6): "Kita adalah sebuah tumpukan atau kumpulan dari persepsi yang berbeda-beda, yang saling menggantikan dengan kecepatan yang tak terbayangkam... Pikiran adalah semacam teater, yang setiap persepsi berhasil tampil; lewat, lewat lagi, melayang, bercampur dalam bermacam-macam sikap dan situasi... Perbandingan dari teater seharusnya tidak membuat kita salah arah. Teater-teater itu hanyalah rangkaian dari berbagai persepsi, yang membentuk pikiran; tak seharusnya pula kita menjauhkan pikiran dari tempat, dimana penampakan-penampakan itu direpresentasikan, atau materi-materi itu, yang darinya pikiran disusun.

Setelah argumen idealis itu diterima, aku melihat kemungkinan -- mungkin tak terhindarkan lagi -- untuk masuk lebih dalam. Bagi Berkeley, waku adalah "silih bergantinya berbagai gagasan dalam pikiran, yang mengalir secara menyeluruh, dan diikuti oleh segala yang ada" (Principle of Human Knowledge, 98); bagi Hume, "silih bergantinya momen-momen yang tak terpisah" (Treatise of Human Nature, I, 2, 2). Tetapi, ketika yang materiil dan yang abstrak disangkal, aku tak tahu dengan apa kita tetap menerima keberlanjutan yang mana adalah waktu. Di luar setiap persepsi (nyata atau dugaan) yang material tak pernah ada; di luar pikiran, yang abstrak pun tak pernah ada; pun waktu yang tak pernah ada selain setiap momen yang sekarang. Mari sejenak berpikir sesederhana mungkin: misalnya, tentang mimpi Chuang Tzu (Herbert Allen Giles: Chuang Tzu, 1889). Chuang Tzu, sekitar dua puluh empat abad yang lalu, bermimpi dia adalah kupu-kupu dan tidak tahu, ketika terbangun, apakah dia seorang manusia yang terbangun menjadi kupu-kupu atau seekor kupu-kupu yang sedang bermimpi menjadi manusia. Tak usah dipikirkan tentang terbangun dari tidur, pikirkan momen mimpi itu, atau satu dari beberapa momen. "Aku bermimpi aku adalah kupu-kupu yang beterbangan di udara dan tak tahu apapun tentang Chuang Tzu," tulis naskah kuno itu. Kita tak akan pernah tahu apakah Chuang Tzu melihat dari atas sebuah taman dimana dia merasa seperti terbang atau melihat benda segitiga kuning yang bergerak yang tak lain adalah dirinya sendiri, tetapi kita tahu bahwa pemandangan tersebut adalah subjektif, walaupun hanya muncul dari ingatan, doktrin pararelisme psiko-fisikal akan beranggapan bahwa pemandangan tersebut mesti diikuti oleh perubahan dalam sistem otak si pemimpi; menurut Berkeley, tubuh Chuang Tzu tidak ada pada momen tersebut, tersimpan dalam bentuk persepsi dalam pikiran Tuhan. Hume bahkan lebih menyederhanakannya lagi apa yang telah terjadi. Menurutnya, jiwa chuang Tzu tidak ada pada momen tersebut, yang warna dari mimpi dan keyakinan bahwa dia kupu-kupu yang ada. Hal-hal tersebut ada, untuk sementara, dalam "tumpukan atau kumpulan persepsi" yang mana, empat abad sebelum Kristus, adalah pikiran Chuang Tzu; hal-hal tersebut ada dalam bentuk n di dalam rangkaian tak terhingga yang temporer, di antara n-1 dan n+1. Tak ada kenyataan lain, bagi idealisme, selain itu hanyalah proses pikiran, menambahkan objek kupu-kupu menjadi kupu-kupu yang dipersepsikan tampak seperti duplikasi yang sia-sia; menambahkan diri seseorang dalam proses tersebut tampaknya tak kalah berlebihan. Idealisme beranggapan bahwa pada waktu itu ada sebuah proses mimpi, sebuah persepsi, tetapi tidak ada sebuah mimpi maupun seorang pemimpi; idealisme beranggapan bahwa membicarakan objek dan subjek adalah benar-benar mitos belaka. Sekarang jika pernyataan pikiran saja cukup, jika menghubungkannya dengan suatu hal atau seseorang merupakan penambahan yang salah dan sia-sia, dengan dasar apalagi kita akan mengatributkan sebuah tempat pada waktu?  Chuang Tzu bermimpi behwa dirinya adalah seekor kupu-kupu dan selama bermimpi dia bukanlah Chuang Tzu, tetapi seekor kupu-kupu. Bagaimana, dengan ruang dan diri dihilangkan, kita akan menghubungkan momen-momoen tersebut dengan momen ketika dia terbangun dan periode feodal dalam sejarah Cina? Hal ini bukannya berarti bahwa kita tidak akan tahu, bahkan dalam perkiraan, tanggal dari mimpi tersebut; hal ini berarti penyususuna kronologis dari sebuah kejadian, dari sebuah kejadian di alam semesta, adalah asing dan di luar semuanya. Di Cina mimpi Chuang Tzu tersebut menjadi semacam peribahasa; mari membayangkan pembacanya yang hampir tak terhingga, seseorang bermimpi bahwa dia seekor kupu-kupu kemudian bermimpi bahwa dia adalah Chuang Tzu. Mari membayangkan bahwa, dengan peluamg tipis yang bukannya tidak mungkin, mimpi ini memunculkan kembali titik demi titik sampai ke asalnya. Sesudah hal ini sudah ternyatakan, sudah tepat untuk menyataakan: apakah momen-momen yang saling bersinggungan tersebut satu dan sama? Bukankah sekali saja hal tersebut berulang sudah cukup untuk meruntuhkan dan membingungkan sejarah dunia, untuk menyatakan bahwa sejarah tersebut tidak ada?

Penyangkalan waktu terkait dengan dua penyangkalan: penyangkalan terhadap urutan sebuah rangkaian momen, dan penyangkalan terhadap hubungan berbagai hal dalam dua rangkaian momen yang berbeda. Pada kenyataannya, jika setiap hal absolut, hubungan-hubungannya semata-mata hanyalah kesadaran bahwa hubungan-hubungan tersebut ada. Sebuah keadaan mendahului keadaan lainnya jika diketahui bahwa kejadian tersebut memang sebelumnya, kejadian G bersamaan dengan kejadian H jika memang diketahui bersamaan. Hal ini kontras apa yang dinyatakan Schopenhauer* dalam neja kebenaran fundamentalnya (Welt als Wille und Vorstellung, II, 4), setiap pecahan waktu tidak secara berurutan mengisi keseluruhan ruang; waktu bukanlah hal yang ada dimana-mana. (Tentu saja, pada argumen tahap ini, ruang tak lagi ada).

*Dan, sebelumnya, oleh Newton yang menyatakan: "Setiap partikel ruang adalah abadi, setiap momen yang tak terbagi ada dimana-mana" (Prncipia, III, 42).

Meinong, dalam teori keraguannya, mengakui bahwa keraguan objek-objek imajiner: dimensi keempat, atau patung sensitif Condillac atau binatang dugaan Lotze atau akar minus satu. Jika argumen yang kunyatakan valid, maka zat, diri, dunia luar, sejarah dunia dan hidup kita berada pada ranah samar-samar yang sama.

Selain itu, frasa "penyangkalan terhadap waktu" juga ambigu. Hal ini bisa berarti keabadian Plato atau Boethius dan juga dilema Sextus Empiricus. Yang terakhir (Adversis mathematicos, XI, 197) menyangkal keberadaan masa lalu, yang baru saja berlalu, dan masa depan, yang belum terjadi., dan membantah sekarang menjadi terbagi maupun tak terbagi. Bukannya tak terbagi, karena jika demikian maka tidak ada awal yang menghubungkannya dengan masa lalu atau akhir yang menguhubungkannya dengan masa depan, atau bahkan sebuah pertengahan, karena yang tak memiliki awal atau akhir tak mungkin memiliki pertengahan; bukan pula bisa dibagi, karena dalam hal ini sekarang akan terdiri dari bagian yang terbagi dan bagian yang tak terbagi. Ergo, sekrang tidak ada, tetapi karena masa lalu dan masa depan juga tidak ada, waktu tidak ada. F. H. Bradley mengungkap kembali dan memperbaiki kekacauan ini. Dia mengamati (Appearance and Reality, IV) bahwa jika sekarang dibagi menjadi sekarang-sekarang yang lain, hal ini akan menjadi lebih rumit dari waktu itu sendiri, dan jika sekarang bisa tak bisa dibagi-bagi, waktu hanyalah hubungan antara hal-hal yang tak kekal. Pemikiran tersebut, seperti yang terlihat, menyangkal bagian-bagian untuk menyangkal keseluruhan; aku menyangkal keseluruhan untuk mengagungkan setiap bagian. Melalui dialektik Berkeley dan Hume aku sampai pada diktum Schopenhauer: "Bentuk dari fenomena kehendak... benar-benar dalam sekarang, bukan di masa depan maupun masa lalu. Yang belakangan hanya dalam konsep, ada hanya di dalam hubungan pengetahuan, selama mengikuti prinsip pemikiran yang memadai. Tak ada manusia yang pernah hidup di masa lalu, dan tak ada yang akan hidup di masa depan; sekarang sendiri merupakan bentuk dari segala kehidupan, dan hal ini merupakan miliknya yang tak akan pernah terenggut.. Kita bisa membandingkan waktu dengan bola yang secara konstan berputar; separuh yang selalu tenggelam adalah masa lalu, dan separuh yang selalu terbit adalah masa depan; tetapi titik tunggal di puncaknya, titik yang tak terbagi yang disinggung garis tangen menjadi sekarang yang tak bisa diperpanjang. Karena tangen tidak berputar bersama bola, tidak juga sekarang, titik dimana persinggungan  objek, yang mana berbentuk waktu, dengan subjek, yang tak memiliki bentuk, karena di luar yang bisa diketahui, hanya kondisi dari keseluruhan yang bisa diketahui" (Welt als Wille und Vorstellung, I, 154). Sebuah risalah Buddhist pada abad kelima, Visuddhimagga (Jalan Menuju Kemurnian), mengilustrasikan doktrin yang sama dengan figur yang sama: "Dengan keras menyatakan, lamanya kehidupan dari satu makhluk hidup amatlah singkat, hanya selama lamanya sebuah pikiran. Sama seperti roda kereta yang berputar, satu titik pada bannya hanya sesaat bertahan pada titik tertentu; dengan cara yang sama kehidupan satu makhluk hidup hanya selama satu periode pikiran saja" (Radhakrishnan: Indian Philosophy, I, 373). Teks Buddhist yang lain mengatakan dunia menghilangkan dirinya sendiri dan muncul kembali enam puluh ribu lima ratus kali dalam sehari dan bahwa semua manusia hanyalah ilusi, yang secara membingungkan dihasilkan oleh rangkaian manusia yang ada dalam sekejap dan sunyi. "Keberadaan sebuah momen pikiran pada masa lalu -- Road to Purities memberitahu kita -- pernah hidup, tapi tidak sedang hidup dan tidak akan hidup. Keberadaan dari momen di masa depan akan hidup, tetapi tidak pernah hidup sebelumnya dan tidak sedang hidup" (op. cit., I, 407), sebuah doktrin yang bisa kita bandingkan dengan Putarch (De E apud Delphos, 18): "Orang yang kemarin telah mati dalam orang yang sekarang, dan orang yang sekarang akan mati dalam orang besok."

Akan tetapi, akan tetapi... Menyangkal urutan yang temporal, menyangkal diri, menyangkal alam semesta perbintangan, jelas merupakan keputus asaan dan pelipur lara. Nasib kita (tidak seperti neraka Swedenborg dan neraka mitologi Tibet) bukannya mengerikan karena tak nyata; nasib mengerikan karena tak bisa diubah dan sekaku besi. Waktu adalah zat yang darinya aku tercipta. Waktu adalah sungai yang menyapuku, tapi akulah sungai; ialah harimau yang menerkamku, tapi akulah harimau; ialah api yang menghabiskanku, tetapi akulah api. Dunia, sayangnya, nyata; aku, sayangnya, adalah Borges.

Jorge Luis Borges, A New Refutation of Time

No comments:

Post a Comment