Monday, July 23, 2012

The Wall And The Books

Dia, yang tembok panjangnya mengelilingi perbatasan Tartar..
Dunciad II, 78


Aku membaca, beberapa hari yang lalu, bahwa orang yang memerintahkan pembangunan dari tembok yang hampir tak terbatas di Cina ini adalah Kaisar pertama, Shih Huang Ti, yang juga memerintahkan semua buku yang ada sebelum dia untuk dibakar. Kedua hal tersebut merupakan tindakan besar -- lima sampai enam ribu leagues batu yang menghadap bangsa Barbar, usaha yang luar biasa untuk menghapuskan sejarah masa lalu -- yang bermula dari seseorang dan dalam beberapa hal sifat-sifat orang ini meyakinkan sekaligus mengacaukan pikiranku. Tujuan dari catatan ini adalah menyelidiki penyebab dari emosi itu.


Secara historis, tak ada misteri dari dua tindakan tersebut. Menghadapi perang melawan Hannibal waktu itu, Shih Huang Ti, raja dari Tsin, menyatukan enam kerajaan di bawah kekuasaanya dan menghapuskan sistem feodal; dia membangun tembok, karena tembok merupakan pertahanan; dia membakar buku, karena musuh-musuhnya meminta mereka untuk memuja kaisar-kaisar terdahulu. Membakar buku dan membangun tembok memang tugas seoarang seperti dia, satu-satunya yang luar biasa adalah skala dimana dia melakukan tindakannya. Yang seperti itu pernah diajukan oleh beberapa Sinologis, tetapi aku merasa fakta-fakta yang telah aku hubungkan lebih dari sekedar hiperbol atau pelebih-lebihan watak yang sederhana. Menemboki taman buah atau bunga itu hal yang wajar, tetapi tidak dengan menemboki kekaisaran. Tidak mengherankan juga jika sebuah ras tradisional menghapuskan kenangan masa lalunya, mistis atau nyata. Tetapi Cina memiliki kronologi selama tiga ribu tahun (dan selama tahun-tahun itu, Kekaisaran Kuning dan Chuang Tsu dan Confucius dan Lao Tzu) ketika Shih Huang Ti memerintahkan bahwa sejarah dmulai dengan dirinya.


Shih Huang Ti telah membuang ibunya karena tidak bermoral; dalam keadilannya itu kaum ortodoks justru melihat ketidak patutan; Shih Huang Ti, mungkin, mencoba untuk menghapuskan keseluruhan masa lalu hanya untuk menghilangkan satu kenangan saja; kebejatan ibunya. (Tak berbeda jauh dengan tindakan raja Judea yang membunuh semua anak laki-laki hanya untuk membunuh satu seorang saja). Dugaan ini menarik perhatianku, tetapi belum ada sangkut pautnya dengan tembok, bagian kedua dari mitos. Shih Huang Ti, menurut sejarawan, melarang kematian untuk disebut dan mencari ramuan keabadian dan memencilkan diri istana kekaisaran yang jumlah kamarnya sama dengan jumlah hari dalam setahun, fakta itu menunjukkan bahwa tembok dalam ruang dan api dalam waktu merupakan pertahanan yang dirancang untuk menunda kematian. Semua hal lama-kelamaan akan bertahan pada keberadaan sejatinya, tulis Barusch Spinoza; mungkin Kaisar dan penyihir-penyihirnya percaya bahwa keabadian merupakan sifat sejatinya dan pembusukan tak bisa memasuki lingkungan tertutup. Mungkin Sang Kaisar ingin menciptakan kembali awal keberadaan waktu dan menyebut dirinya Yang Pertama, seperti yang benar-benar pertama untuknya, menyebut dirinya sendiri Huang Ti, seperti Huang Ti, kaisar legendaris yang menemukan tulisan dan kompas. Belakangan, menurut The Book Of Rites , dengan memberikan nama yang sebenarnya untuk benda-benda, Shih Huang Ti berkoar, di dalam prasasti yang akan bertahan lama, setiap benda di bawah kekuasaanya akan diberikan nama yang sesuai. Dia memimpikan dinasti yang abadi; dia memerintahkan keturunannya untuk dipanggil Kaisar Kedua, Kaisar Ketiga, Kaisar Keempat, dan seterusnya sampai tak terhingga... Aku telah membicarakan sebuah tujuan magis; akan logis juga untuk menduga bahwa pembangunan tembok dan pembakaran buku bukanlah dua tindakan yang berjalan serempak. Hal ini (tergantung urutan yang kita pilih) akan memberikan gambaran tentang seorang raja yang memulai dengan menghancurkan dan kemudian memencilkan diri untuk merawat, atau seorang raja yang kecewa menghancurkan apa yang sebelumnya ia pertahankan. Kedua dugaan itu dramatis, tetapi keduanya, sejauh yang kutahu, tak memiliki dasar sejarah yang cukup. Herbert Allen Giles menyatakan bahwa mereka yang menyembunyikan buku ditandai dengan helm besi merah dan dipekerjakan sampai hari kematiannya untuk membangun tembok yang mengerikan itu. Informasi ini membawa atau mentolelir interpretasi yang lain. Mungkin tembok itu adalah metafor, mungkin Shih Huang Ti menghukum mereka yang memuja masa lalu dengan memberikan tugas yang luar biasa besar, kasar, dan sama tak bergunanya dengan masa lalu itu sebdiri. Mungkin tembok itu adalah sebuah tantangan dan Shih Huang Ti berkoar:" Orang-orang mencintai masa lalu dan aku atau ekesekutorku tak bisa berbuat apa-apa melawan cinta itu, tetapi suatu hari akan ada seseorang yang merasakan seperti yang kurasakan dan dia akan menghadapi kenangan akan diriku dan akan menjadi bayangan dan cerminku dan tidak mengetahuinya." Mungkin Shih Huang Ti menemboki kekaisarannya karena dia tahu bahwa itu tak akan bertahan lama dan membakar buku karena dia paham buku-buku itu sakral, dengan kata lain, buku yang mengajarkan ajaran seluruh jagat raya dan pemikiran dari setiap orang yang mengajarkan. Mungkin membakar perpustakaan dan pembangunan tembok adalah dua tindakan yang dalam sebuah rahasia membatalkan satu sama lain.


Tembok perkasa yang saat ini, dan setiap saat, menjatuhkan pembayangan di atas tanah yang tak akan pernah aku lihat, adalah bayangan seorang Kaisar yang memerintahkan sebuah negara yang paling terhormat untuk membakar masa lalunya; logika ide ini menggerakan kita secara otomatis, di samping dugaan-dugaan yang memungkinkan. (Hikmahnya mungkin terletak pada pembangunan dan penghancuran dalam skala raksasa.) Penyederhanaan dari kasus tersebut, kita bisa menyimpulkan semua bentuk memiliki hikmah di dalamnya sendiri dan bukan di dalam dugaan apapun. Hal ini akan harmonis dengan tesis Beneditto Croce; Pater pada tahun 1877 sudah menegaskan bahwa semua seni yang menginginkan bentuk musikal, yang merupakan bentuk murni. Musik, bentuk kebahagiaan, mitologi, wajah-wajah yang diperbudak waktu, keredupan tertentu dan tempat tertentu mencoba memberi tahu kita sesuatu, atau sudah mengatakan sesuatu yang tak seharusnya kita abaikan, atau hampir mengatakan sesuatu; keinginan untuk membuka rahasia yang tak terjadi mungkin saja merupakan keindahan dari fenomena.




Jorge Luis Borges, The Wall And The Books
terjemahan nhdkentun

No comments:

Post a Comment